pohon cita cita kelas inspirasi
Dihari keempat pada akhir sesi, kami membuat semacam pohon yang disebut sebagai pohon cita-cita, supaya mereka menggantungkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Ketika mereka sedang jenuh dan tidak semangat dalam belajar, mereka nanti bisa melihat pohon tersebut dan kembali terinpirasi dengan apa yang mereka cita-citakan.
SiswaPAUD Siap Jadi Hafiz Al Qur'an. Alhamdulillah sekolahku kedatangan tentara TNI AD dari KOREM 071, yaitu Mayor Czi Zaenal Abidin, Ayahanda dari Ananda Danial siswa KB Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto. MasyaAllah antusias dan senangnya anak anak menyambut pak tentara. Senin, 14 Maret 2022.
Setelahmenempel bunga cita-cita di pohon cita-cita, kami mendapat kejutan. "Cerdas, ceria, meraih cita-cita! Kelas Inspirasi Jombang, Semangat Kartini!" Untuk giliran pertama saya harus masuk ke kelas 6. Seperti biasa, saya sudah mempersiapkan semacam RPP sebelum mengajar,
1038 total views, 1 views today MUARAENIM, KSOL - Karang Taruna Desa Marga Mulya, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muaraenim, pekan silam, Sabtu (23/4/2016) sukses menggelar Kelas Inspirasi (KI). Kegiatan ini diselenggerakan secara serentak di 7 kecamatan dan 14 Sekolah Dasar (SD) di Muaraenim. Salah satunya di laksanakan di SDN 12 dan SDN 04 Rambang. Kegiatan KI di SDN []
Akhirnyapetualangan bersama siswa pun berakhir. Mungkin kegiatan Kelas Inspirasi akan menjadi kenangan manis untuk mereka tau bisa saja mereka lupakan. Tapi, cerita yang sudah didengar tentunya akan tertanam dalam ingatan dan bisa jadi menginspirasi mereka untuk menemukan mimpinya. Dan di penghujung hari, bukan cuma para siswa yang terinspirasi.
Site De Rencontre Pour Les Moches En France.
Laporan wartawan Sriwijaya Post, Yuliani PAGARALAM - Puluhan wajah ceria anak-anak SDN 31 Pagaralam langsung antusias saat rombongan relawan Kelas Inspirasi tiba di sekolah mereka, Kamis 15/6/2017. Apalagi yang datang mengenakan seragam profesi masing-masing, raut wajah polos tersebut langsung penasaran. Tidak butuh waktu lama untuk berkenalan dengan anak-anak tersebut, apalagi sambutan para guru yang ramah dan terbuka. Uniknya, beragam cita-cita langsung mereka teriakkan saat ditanya besar nanti mau jadi apa. Mulai dari dokter, guru, polisi, tentara, pilot, astronot, artis bahkan pembersih taman. Mereka juga antusias bertanya kepada inspirator, mengenai apa menariknya dari profesi yang sedang mereka geluti. Total ada 11 relawan yang datang dari berbagai profesi, seperti tenaga kesehatan, tenaga pengajar, seniman, bahkan jurnalis. Para relawan kelas inspirasi Pagaralam bersama anak-anak SD 31 Pagaralam, Kamis 15/6/2017 Dalam kesempatan ini jurnalis Sriwijaya Post juga mencoba berbagi inspirasi kepada anak-anak tentang dunia profesi junalis. Pada bagian akhir kelas pun mereka disuruh untuk melukiskan cita-citanya dan ditempel di pohon harapan. Ketua panitia kelas inspirasi Pagaralam, Eka Lamar Syari mengatakan, kegiatan ini merupakan program perdana yang digelar di kota Pagaralam. "Alhamdulillah banyak relawan yang mengajukan diri untuk menjadi inspirator. Apalagi sambutan dari pihak sekolah sangat baik," ujarnya. Ia menjelaskan, tujuan dengan diadakannya kelas inspirasi ini tak lain untuk memberikan motivasi kepada anak-anak dalam mewujudkan impiannya. Para relawan juga harus menjelesakan seperti apa profesi mereka, bagaimana sistem kerjanya, dan kalau ingin menjadi seperti inspirator harus melakukan apa. Total ada 11 relawan yang datang dari berbagai profesi, seperti tenaga kesehatan, tenaga pengajar, seniman, bahkan jurnalis. "Di dalam kelas para relawan ini menceritakan semua pengalaman mereka dalam menggeluti profesi tersebut. Jadi anak-anak akan mendapat bayangan, kalau jadi seperti inspirator nanti harus melakukan apa," ungkap alumni FKIP Unsri ini. Ia berharap, ke depannya kegiatan kelas inspirasi ini bisa berkesinambungan dan rutin dilakukan. Sebab masih banyak sekolah yang membutuhkan inspirator untuk membantu mewujudkan impian mereka. "Insya Allah kelas inspirasi Pagaralam akan terus bergerak dan membantu pendidikan anak-anak. Kita juga akan terus berevaluasi agar kegiatan ini bisa berjalan lebih baik lagi," jelasnya.
Kuliah Kerja nyata KKN adalah salah satu program yang diwajibkan oleh universitas untuk mengambil bagian dalam pengabdian dimasyarakat dalam mewujudkan salah satu tridarma perguruan tinggi. Dalam hal ini saya berkesempatan mengikuti KKN bilateral dalam bentuk kerjasama antara Universitas Sriwijaya dengan Universitas Riau dan saya ditempatkan untuk mengabdi di desa Bayat Ilir, Musi Banyuasin, Sumatera selatan. Di desa tempat saya mengabdi merupakan desa yang sangat jauh dari kota dan bahkan masih terdapat suku-suku primitif di dalamnya. Namun di daerah ini sangat maju dalam hal ekonomi dikarenakan mereka bisa menyuling minyak mentah menjadi minyak jadi sebagai bahan bakar dan bahkan untuk dijual. Istilah di daerah sana adalah memasak minyak, meskipun sebenarnya itu merupakan kegiatan yang illegal dan sangat berbahaya dalam proses menyuling minyak tersebut. Desa yang menurut saya cukup maju dalam hal ekonomi tidak didukung dengan pendidikan yang baik. Di daerah ini pendidikan tertinggi hanya di Sekolah Dasar dan bahkan banyak yang tidak lulus SD. Hal ini dikarenakan sudah tertanam di benak mereka bahwa tanpa sekolah pun mereka dapat mendapat banyak uang dari hasil menyuling minyak tersebut. Hal tersebutlah yang membuat saya cukup perihatin dengan kondisi tersebut. Jika minyak yang mereka ambil habis atau pemerintah turun untuk menutup kegiatan ini apakah mereka masih bisa bertahan hidup, mengingat mereka juga sudah menjual tanah mereka ke beberapa perusahaan yang ada di dalam daerah tersebut. Dengan kejadian tersebut saya sebagai mahasiswa yang mengerti dampak tersebut menginisiasi untuk membuat kelas inspirasi bagi anak-anak di desa tersebut dengan harapan mereka memiliki cita cita setinggi mungkin dan untuk menggapai cita-cita tersebut mereka harus meraih pendidikan setinggi mungkin. Kegiatan tersebut saya laksanakan di dua sekolah di desa tersebut dan satu sekolah berlangsung selama 4 hari. Saya cukup terkejut karena ketika ditanya tentang cita-cita mereka ingin menjadi seorang artis, penyanyi, bahkan banyak yang tidak tahu apa yang jadi cita-cita mereka. Saya dengan beberapa tim saya berpikir untuk mengubah konsep di awal karena jangankan menginspirasi, untuk cita-cita saja mereka banyak yang tidak punya. Untuk itu di hari kedua kami banyak bercerita tentang berbagai profesi, dan bahkan di hari ketiga kami mengundang beberapa pegawai serta camat dan dari pihak kepolisian untuk menginspirasi mereka. Akhirnya mereka dapat terinspirasi dan memiliki cita-cita. Luar biasanya, mereka memiliki alasan yang cukup bagus mengapa memiliki cita-cita tersebut . Di hari keempat pada akhir sesi, kami membuat semacam pohon yang disebut sebagai pohon cita-cita, supaya mereka menggantungkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Ketika mereka sedang jenuh dan tidak semangat dalam belajar, mereka nanti bisa melihat pohon tersebut dan kembali terinpirasi dengan apa yang mereka cita-citakan. Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa dalam mewujudkan cita-cita tersebut mereka harus belajar dan mengejar pendidikan setinggi mungkin, fokus belajar dan membantu orang tua saja tapi jangan cari uang dulu. Saya merasa mereka cukup terinspirasi, karena selama 40 hari mengabdi di sana mereka banyak berubah, sangat giat belajar. Semoga tetap berlanjut sampai sekarang. Cukup senang bisa memberikan sedikit hal kepada masyarakat di sana dan semoga bisa bermanfaat bagi mereka kelak. Sekali menginspirasi terinspirasi selamanya.
Behind my office desk, sehari setelah Kelas Inspirasi II. Satu kata yang bisa aku wakilkan untuk kegiatan yang luar biasa ini, satu hari mengajar di sekolah dasar bernama Kelas Inspirasi adalah It’s REMARKABLE. Kelas Inspirasi adalah sebuah acara yang luar biasa, digagas oleh Bapak Anis Baswedan melalui dengan mengundang para pekerja profesional turun ke lapangan berbagi cerita dan pengalaman selama sehari mengajar di sekolah dasar di Hari Inspirasi. Tahun ini adalah Kelas Inspirasi II. Diselenggarakan serentak di Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Pekanbaru, Surabaya, dan Solo, 20 Februari 2013. Menyusul Kelas Inspirasi II yang akan diadakan di Kota Makassar. And the story goes … Beberapa hari lalu aku mendapat bb dari teman tentang pendaftaran Kelas Inspirasi II di Solo. Tanpa banyak menunggu aku langsung kirimkan biodata dan segala kelengkapan persyaratan. Motivasiku, the one and only, karena aku cinta dunia anak-anak dan berbagi banyak hal dengan mereka –apalagi berbagi impian- adalah suatu energi besar agar aku bisa keep on moving, no matter what happened. Life, sometimes is sucks, hehe! Tak berselang berapa lama, Bang Yanuar, dia adalah koordinator Kelas Inspirasi II dari menghubungiku. Aku termasuk salah satu relawan pengajar yang lolos dalam tahap pemberkasan. Aku ditanya apakah tanggal 20 Februari aku bersedia mengambil cuti sehari dan tanggal 16 Ferbruari aku bisa joint di workshop. “Fine,” I said. *** Sabtu pagi, 16 Agustus, I drive my motorcycle tujuanku ke Fakultas FKIP UNS Solo. Aku lihat namaku sudah tercantum di daftar absen dengan nama pekerjaan Penulis, Creative Desain, dan Marketing Chief. Lengkap bukan? ^_^ Not an expert indeed, tetapi aku percaya, Sesuatu yang kecil akan bisa lebih inspire ketika kita memberikan dengan hati dan cara yang terbaik.’ Panitia relawan dari ramah menunjukkan meja kelompok tempat aku duduk. SD Bibis Wetan, tercantum di kertas di atas meja kelompok. Tak berapa datang Mr. Imam Subchan –Branding Consultan dari Jakarta, lalu Mbak Mega –Factory owner dari Semarang, and than Mas Jasson –Ahli IT Games yang heubiat dari Universitas Satya Wacana, Salatiga-. Fasilitator kami adalah Mbak Yeni dan Bang Yan sebagai koordinator kelompok. Ada 8 vols –sebutan untuk para volunteer- di kelompokku. Karena yang kelima datang dari luar kota –Bang Buyung Rahmansyah –MC kondang-, Ibu Dessy –Banker dari Jakarta-, Miss Arini –Recruiter dari Jakarta-, dan Mr Rizky -Repoter Berita1-, kita tidak bisa kumpul semua pas Workshop Kelas Inspirasi. Ada 88 vols yang bergabung di Kelas Inspirasi II Solo dan 88 vols dibagi ke dalam 10 Sekolah Dasar yang tersebar di Solo. Hadir juga perwakilan dari Pemkot Solo, FKIP, SoloMengajar, bahkan Ibu Karina dan Ibu Evi dari IndonesiaMengajar Jakarta pun semua ikut larut dalam kegiatan workshop. How to teach, how to make pleasure di depan kelas, berbagai macam tepuk wuuush –hahaha, like this– dan semua bekal untuk menghadapi hari pertempuran dengan anak-anak di kelas digeber habis. Kegembiraan dan kecemasan menghadapi adik-adik di kelas menjadi sebuah diskusi yang luar biasa meriah hingga siang. Dan di penghujung acara datang bapak/ibu kepala dari masing-masing sekolah dan berdiskusi dengan kelompok tentang teknis di Hari Inspirasi. I admit I never been met with the great day before such as like this day! Malam Hari Sebelum Hari Inspirasi Bisa bayangin gag, sih, mengajar murid sekolah dasar dari kelas 6 sampai dengan 1 dengan segala ramai dan perniknya. Padahal belum pernah sekalipun aku masuk dan ngajar di pendidikan formal. Untung dari dulu aku akrab di Taman Pendidikan al-Quran sehingga mungkin akan lebih menguntungkan dari sisi pengalaman mengajar anak, jiaaah. Apa iya, sih? *Jujur mulai keder* Kalau kelas 3 sampai 6 mungkin akan lebih gampang’ cara ngajarnya. Lah, kalau kelas 1 dan 2? Bagaimana cara neranginnya? Aku harus berpikir cerdas! Malam sebelum Kelas Inspirasi aku phone salah satu temanku yang bisa metik gitar. Akhirnya sebuah lagu berhasil kita mainkan dengan baik –I’m a singer2. Here this lyric PECI, Penulis Cilik Indonesia. Merenda masa dan lukiskan karya. Goreskan penamu raihlah cita. Akan kau wujudkan di masa depan. Kita bersama, membangun cita. Kita bersama, membangun bangsa. Kita penulis cilik Indonesia. Terus berkarya sepanjang masa. A simple song, isn’t it? Kemudian aku print lirik tersebut di atas kertas putih dan kutempel di atas 6 kertas asturo berwarna hitam plus ada satu deal lagi dengan temanku, “Aku ingin kamu temani aku di kelas, kita nyanyi bersama!” *Pintaku sampai meleleh. Hehe.* Aku harus bisa menaklukkan anak-anak di kelas! Perang dingin berkecamuk di dalam dadaku, jiaaah! Di Hari Inspirasi Cloudy morning. Kukebut motorku, mata masih luruh dalam kantuk. Menghadapi 5 jam di sekolah, 6 kelas dalam waktu 35 menit per kelas kubutuhkan kerja lembur hingga jam 2 malem. Haha. Setelah muter cari alamat, akhirnya aku temukan alamat SD Bibis Wetan. Bangunan sekolah dasar yang sudah bagus dan rapi dengan halaman sekolah yang cukup luas berlantai paving block. Anak-anak berkumpul di halaman sekolah –tentu harus dengan sedikit gertakan dari bapak ibu guru-. Ada 176 murid di halaman, wooow. Vols masih kaku, don’t know what we’ve to do. Harus melakukan ice breaking, nih! Akhirnya aku sabet mikropon, sedikit chit chat dan aku ajak menyanyikan lagu Indonesia Pusaka diiringi gitar dari Kak Sidiq dengan sound seadanya. Well done, berhasil ternyata. Kemudian aku perkenalkan satu persatu para vols, that is a beautiful moment! Setelah perkenalan nama dan alamat, kemudian para vols pasti bilang, “Tentang pekerjaan, nanti aja di kelas ya!” Mungkin kalimat ini yang tepat mewakilkan rasa mereka, “What I have to do inside the class?” *_^ Time in a class. Entering Fifth grade. Haha, aku langsung ketemu dengan isu sara. Haloo adiks, aku bukan sedang berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah, loh! Ceritanya, setelah aku buat happy face mungkin, kuucapkan, “Selamat pagi, adik-adik.” 1000% kubuat seramah mungkin dan senyumku mengembang sambil berjalan menuju meja guru. Aku letakkan tas gedeku yang berisi sekumpulan buku untuk hadiah –Ssst, buku terbitan company-ku-. Karena dilarang berpromosi di dalam kegiatan ini. Segera kuucapkan kalimat pembuka, “Salam sejahtera untuk semuanya.” Eh, sebelum aku merampungkan kalimatku. Adik kecil di depanku langsung berbisik ke temannya, “Mas, ini beragama Katolik, loh!” Aduh, kemudian aku ucapkan, “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh ….” Walaa, adik satunya lantang berkata, “Dia beragama Islam, tau!” Ups! Kena isu SARA, nih. Itu pelajaran pertama dari Kelas Inspirasi. So, jangan coba-coba, ya! Harus di area aman, nih. Kemudian aku ajak mereka bernyanyi bersama. Dan aneh, aja, ternyata laguku langsung bisa dinyanyikan oleh mereka. Pintar!!! Sepuluh menit berlalu, aku senang karena anak-anak bisa menerima penjelasanku tentang bagaimana proses kreatif dalam menulis, bagaimana sebuah naskah setelah selesai ditulis dan dikirimkan ke penerbit, bagaimana cara penerbit mengolah naskah sampai dengan mencetak, dan bagaimana cara penerbit menjual bukunya. They are very interested! Aku ajak pula mereka bercerita dengan tema si fulan’ yang lagi galau. Fulan aku ambilkan dari nama salah seorang murid. Ku buat semenarik dan selucu mungkin, menjadi badutlah aku. Mereka tertawa bersama, ah luar biasa senangnya. Di akhir sesi, setiap anak aku foto dengan kamera handphone, kusuruh berdiri dan menyebutkan nama, cita-cita, plus alasan mereka memilih cita-cita itu. “Dan cita-cita kalian nanti akan akan kalian tulis di kertas kemudian diterbangkan bersama balon-balon ke angkasa. Biarkan Tuhan mendengar dan mengabulkan cita-cita kalian,” pesanku. “Horeeeeeee,” mereka berteriak kencang dan sangat bersemangat. *** Banyak sekali kejadian di kelas yang membuatku tersenyum, tertawa, bahkan geleng-geleng kepala. Anak-anak ini bukan nakal, tapi terlalu kreatif. Anak-anak ini bukan tidak bisa diam, tapi terlalu banyak vocabulary. Tingkah polah mereka benar-benar membuatku berpikir, “Bagaimana bisa para guru, seorang pahlawan tanpa tanda jasa, bertahan selama puluhan tahun untuk mengabdi di sini? Belajar dan bermain dengan emosi mereka? Woow, luar biasa!” Entering Fourth grade. Masuk kelas 4. Ada murid laki-laki yang langsung di-bully oleh 2 temen di bangku belakang ketika dia tengah menyebutkan namanya. Hm, langsung aku dekati dan aku tanya cita-cita dia. Dengan malu dia bilang, “Aku mau jadi pembalap, Pak Guru.” “Kalau kalian mau jadi, apa adik-adik?” Kuhampiri juga 2 teman di belakangnya. “Kita mau jadi pemain sepak bola!” berkata dengan keras. “Nah, kalau di dalam olahraga, kan, harus fair play dan sportif. Tidak boleh menjelek-jelekan pemain satu dan yang lain. Apalagi berkelahi dengan team cabang lain. Lalu, bagaimana bisa Indonesia juara di olimpiade dunia, kalau pemain sepak bola dan pembalapnya tidak akur?” Mereka mengangguk tanda paham. Bener nggak nasehatku? *Bingung dengan spontan* Entering third-class. Begitu masuk kelas tiga, langsung ada anak berantem. Aduh. Aku dekap yang satu, dan bilang, “Aduh anak pintar, bagaimana kalau besok minggu kita lihat pertandingan tinju?” “Dimana, Kak?” Serempak bilang. “Di TV ….” Aku pasang mimik lucu. Perkelahian pun berakhir. “Cita-citamu jadi apa sayang?” Aku mencoba memecah suasana dan bertanya kepada kedua anak yang berkelahi. “Jadi pemain barongsai.” Aku diam dan manyun. Pantas! *_^ Entering Second-class. Ini kelas yang paling nyebelin karena nyuekin aku. *Hahaha* Bagaimana tidak? Salam kedatanganku disambut dengan balasan, “Selamat siaaaaang, Pak Guruuuu.” Tapi mulut mereka penuh dengan makan siang. “Kak, mau ayam? Mau bakmi? Mau burger?” Lengkaaaaap, semua murid nawarin aku makan. Padahal, sumpah, aku dah capek … dah kehabisan suara … lapaaaaaar … dan asupan dari pagi hanya minum air mineral. *Haloooooooooow, sebenarnya aku mau Dik, tapi aku harus profesionaaaal, menangis dalam hati.* Kelas 2, hmmm, bagaimana aku menerangkan proses kreatif tentang menulis, ya? Ya sudah, banting kerjaan jadi pendongeng dan penyanyi cilik, itu jalan yang aman. *Hahaha*. 35 menit kulampaui dengan nafas tersengal-sengal. Haduh. Entering First-class. Seragam sekolah kelas satu lain sendiri. Apalagi cara membaca syair PECI. Beda pengucapan dan beda arti pula. Maklum, dieja! *^* Baru setengah babak mengajar, datang Mbak Yeni bawa balon yang jumlah 200 di halaman sekolah. “Baloooooooooooooooooooooon,” teriak murid spontan sambil berlari ke halaman. Hampir sekelas meninggalkanku. “Ini bagaimanaaaaaaaaa,” aku hanya bisa geleng-geleng. Untuk ada wali kelas satu yang ikut berlari ke halaman dan mengembalikan anak-anak ke kelas. Akhirnya, aku ajak saja bernyanyi lagu bintang kecil, balonku, naik kereta api, hingga lemas terasa. Hahaha. Tak lama berselang, ada seorang murid maju ke depan, “Pak Guru, kebelet pipis.” “Oh, mau pipis? Ya sudah ke kamar mandi saja!” Nasihatku. Belum si adik beranjak. Hampir separo kelas berdiri dan memegang bagian bawah, “Aku jugaaaaaa.” Ke luar lagi ditinggalin. * Speechless, bener dah, hahahahaha.* Untung di luar pintu sudah ada Bu Guru yang siap menghadang. “Ayo, pipis kok rombongan. Kolah –kamar mandi- mana muaaaat?” dengan nada mara-mara luar biasa. Haduuuuh, what cant I do now? Entering Sixth grade. Kelas terakhir yang menjadi tugasku. Shock! Karena murid-murid kelas enam rata-rata bertubuh besar. Masuk remaja. Bahkan beberapa anak sudah pegang handphone. Cerita si fulan’ galau pun berubah menjadi galau’ karena pacaran. *Haduh.* Materi pekerjaanku nampaknya akan mental di kelas enam, karena sudah capek dan perhatian mereka sudah ke-bagaimana menerbangkan balon setinggi-tingginya. Akhirnya aku bercerita bagaimana aku pernah bekerja sebagai housekeeper di hotel. Walaa. Gag nyambung, 180 derajat berubah halauan. Yang penting berhasil mendiamkan mereka. Toh, semua pekerjaan adalah mulia. Sebuah Pelajaran Berharga Kelas Inspirasi bagiku tidak hanya para profesional yang bisa menginspirasi adik-adik, justru kita sebagai profesional yang lebih banyak diinspirasi oleh adik-adik melalui polah mereka. Terpenting adalah bagaimana sebuah impresi itu harus lebih diutamakan daripada how to teach them in a class. Sebuah kesan pertama yang benar-benar bisa dilihat dengan visual oleh adik-adik ketika sosok kita telah berdiri di pintu masuk kelas. Jika kesan pertama saja tidak bisa kita ciptakan, metode mengajar terhebat apapun akan gagal diberikan. Kelas Inspirasi II hampir selesai, kami berkumpul di halaman sekolah. Saatnya menerbangkan balon cita-cita. Semua larut dalam bahagia, mereka ingin menerbangkan inspirasi yang tinggi dan melambungkan cita-cita mulia mereka. Saling berebut warna balon semakin menambah gembira suasana. Saatnya balon terbang, horeeeeeeeeeeeeeeeeeeee! Moment ini sungguh luar biasa. Satu anak mendekatiku, “Kak, tolong terbangkan balonku!” Aku lihat balonnya terperangkap di pohon mangga. Aku tersenyum, “Ayoo! Kita terbangkan cita-citamu.” Balon itu aku raih dan akhirnya terbang tinggi. Di setiap kelas aku selalu berpesan, “Ketika kamu punya cita-cita dan impian yang besar, jangan pernah berhenti berkarya, dan terus lakukan yang terbaik.” S*E*L*E*S*A*I. Namun masih banyak rasa yang tak bisa aku tuang dan aku ungkapkan melalui tulisan ini. No doubt! Semua terlalu cepat jika hanya satu hari menginspirasi. Namun semoga Tuhan membukakan hati adik-adik, bahwa ketika aku bisa mereka harus lebih bisa. Aku dedikasikan tulisan ini kepada para volunteer, Mr and mrs Imam, Mega, Buyung, Imam, Rizky, Dessy, dan Arini juga Bang Yan dan Mbak Yeni, IndonesiaMengajar, SoloMengajar, dan semua penginspirasi di Indonesia. Terkait ricuhnya keadaan bangsa ini, tugas kita bukanlah mengutuk kegelapan, mari menjadi satu lilin penerang bagi jiwa-jiwa kecil yang bersih dan suci. You are the great team. Banyak yang bisa di-learning dari masing-masing kita. Bertemu lagi adalah sebuah keharusan. Never stop for giving an inspiration! Salam Inspirasi. Lilik Kurniawan
JAKARTA - Sekelompok mahasiswa program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA yang menamakan dirinya sebagai Tim Pocita, beranggotakan Andhika Illyas Alhafizh Aldrian, Nur Hidayah, Shinta Bella Kurniati, dan Moni Amanda. Kelompok ini berpotensi besar menjadi perwakilan kampusnya dalam ajang Pimnas pekan ilmiah nasional 2019 yang akan diselenggarakan di Bali. Pasalnya, kelompok ini telah memenuhi tagihan dari proposal yang mereka kerjakan berupa tercapainya tujuan kegiatan, pengiriman artikel di jurnal ber-ISSN, dan pendaftaran HAKI untuk artikel mereka. Siapa sangka prestasi yang diraih tersebut bersumber dari kegagalan. Mereka menjadikan kegagalan sebagai inspirasi proposal program kreativitas mahasiswa pengabdian masyarakat PKM-M sehingga memperoleh pendanaan dari Kemristekdikti untuk judul kegiatan Program Pengenalan Cita-cita di Raudhatul Athfal RA Al-Amin, Jakarta, dengan metode Pocita Pohon cita-cita. “Waktu saya mau kuliah, saya bingung menentukan jurusan apa yang saya pilih. Saya tidak memiliki cita-cita, sehingga saya sulit menentukan arah hidup saya. Pada saat itu, saya merasa gagal,” terang Andhika, ketua Tim Pocita mengawali asal muasal proposal mereka, melalui rilis yang diterima Rabu 10/7. “Ternyata apa yang saya rasakan juga dirasakan oleh teman-teman saya. Di sini, saya mulai berpikir bahwa ternyata cita-cita sangat penting ditanamkan sejak dini,” jelasnya. Dengan inspirasi tersebut, maka Andhika bersama teman-temannya menyusun program pengenalan cita-cita di taman kanak-kanak. Setelah melakukan observasi ke sekolah, mereka mendapatkan tantangan yang cukup berat. “Anak-anak itu sulit fokus dan tidak dapat diceramahi. Mereka senang bermain dan aktivitas motorik,” terang Nur Hidayah menceritakan pengalamannya. “Akhirnya kami berdiskusi untuk menentukan metode yang cocok untuk anak-anak usia 5—6 tahun. Ditentukanlah metode pocita pohon cita-cita,” ujarnya. Dengan metode tersebut mereka melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di RA Al-Amin berupa mengenalkan cita-cita kepada anak-anak. Kegiatan ini berlangsung menarik bagi anak-anak sebab anak-anak tidak hanya mengenal dan menentukan cita-cita, namun juga melakukan aktivitas bermain berupa menanam pohon dan menyiram pohon. “Dengan melaksanakan Pocita ini kami tidak hanya menyampaikan pentingnya cita-cita bagi anak, namun juga menanamkan bagaimana anak-anak harus mencintai lingkungannya,” terang Mona, anggota Pocita lainnya. Kegiatan ini diapresiasi dengan baik oleh kepala sekolah, guru, dan orang tua. Mereka berterima kasih karena kelompok Pocita telah memberikan arahan kepada anak-anak mereka tentang pentingnya cita-cita bagi kehidupan mereka.
pohon cita cita kelas inspirasi